Minho suka jendela besar toko bunganya. Jendela yang bagian bawahnya sedikit tertutup oleh deretan pot bunga itu memberinya akses untuk memerhatikan kegiatan orang-orang yang tiba di pemakaman. Tangis di depan gerbang pemakaman bukan hal aneh, ketakutan di wajah anak-anak kecil juga bukan hal asing baginya, bahkan teriakan pilu pelayat bisa samar terdengar. Beberapa dari mereka kerap mampir ke tokonya, membeli rangkaian bunga, memintanya untuk menerjemahkan sesal mereka lewat bunga-bunga yang cantik. Tragis, menurut Minho, bagaimana indahnya tanaman yang ia rawat dengan telaten malah menjadi simbol rasa bersalah manusia-manusia yang masih bernafas ini.
Denting bel pintu merusak lamunannya. Hyunjin, Minho kenal orang itu. Dia datang seminggu sekali, terkadang bersama suaminya yang lebih suka menunggu di depan toko. Hyunjin langsung menuju meja kasir, senyumnya tipis. Minho hafal apa yang akan Hyunjin pesan, buket bunganya pun sudah ia kerjakan kemarin sore. Rangkaian bunga pansies berwarna ungu dan kuning untuk mendiang putrinya. Minho ingat Hyunjin datang pertama kali dengan mata merah, menggumam tentang singkatnya waktu yang ia punya dengan bayi kecilnya. Hyunjin menggumam lirih tentang warna merah muda di pipi putrinya yang tinggal sementara. Minho tidak akan lupa cara Hyunjin menatapnya dengan berurai air mata, Hyunjin tersenyum, “a bouquet of pansies. For her who came into my life like a fleeting kiss.”
“Hai,” sapa Hyunjin.
“Yang biasa?” tanya Minho.
Hyunjin mengangguk, “Kamu punya bunga lili? Warna putih lebih bagus.”
Kini Minho yang mengangguk.
“Aku mau,” Hyunjin tersenyum, menoleh ke depan toko, di mana suaminya menunggu.
“Aku sama Changbin pindah ke kota lain minggu depan.”
Minho menunggu Hyunjin melanjutkan ceritanya.
Laki-laki itu kembali menghadap ke arah Minho, “Bunga lili bagus untuk perpisahan, ‘kan?”
Sejak hari itu, Hyunjin dan suaminya tidak pernah kembali. Dengan buket lili putihnya, hidup Hyunjin dan sang suami terus berjalan setelah mengucapkan perpisahan untuk bayi mungil yang kerap mereka sambangi setiap minggu.
Di suatu pagi yang cerah, seperti biasa dari balik meja kasir, Minho masih memerhatikan kegiatan di depan pemakaman. Dua orang pemuda tiba dengan sepeda motor mereka, satu dari mereka nampak murung. Keduanya berbicara di depan gerbang, berdiskusi tentang entah apa Minho tidak bisa mendengarnya. Tiga menit kemudian, pemuda dengan wajah murung menggeleng cepat sebelum berjalan ke arah toko bunga Minho.
Denting bel terdengar nyaring saat pintu terbuka. Minho menunggu di balik meja kasir. Saat pemuda itu sudah cukup dekat, ia menyapa seperti biasa, “selamat datang. Ada yang bisa dibantu?”
“Bunga yang cocok untuk guru apa?” tanya pemuda itu tanpa basa-basi.
Mata Minho berkedip dua kali, “Mawar merah muda.”
Pemuda itu mengangkat bahunya, “oke.”
Minho bergerak ke lemari perkakas, mencari gunting tanamannya saat telinganya mencuri dengar pemuda itu berseru, “Seungmin, bayar bunganya. Ini buat guru kamu, bukan guru aku.”
Pemuda lain yang mungkin bernama Seungmin itu masuk, “Guru kamu juga, Jeongin.”
“Gak terima, dia gak becus ngajarin,” balas Jeongin.
Minho berbalik ke arah dua tamunya dengan gunting di tangan kirinya. Minho kenal bunganya, sudah tugasnya untuk menerjemahkan perasaan pelanggannya lewat rangkaian buketnya, “Mau lili juga? Yang warna jingga?”
Jeongin menatap Minho, alisnya terangkat sebelah, “oke.”
Dua pemuda itu menerima dua buket bunganya tanpa banyak tanya, entah memercayakan pesan mereka kepada Minho atau tidak peduli dengan pesan yang bunga-bunga itu bawa. Yang mereka tahu, mereka ingin segera meninggalkan aura muram di pemakaman itu.
“Mama suka mawar kuning, Ji,” sebuah suara berat memecah hening, bahkan denting bel pintu nyaris tidak terdengar.
“Aku tau, Lix,” susul suara lain. “Tapi mawar kuning buat teman, bukan orang tua.”
“Mama udah kayak teman buat aku, Jisung,” timpal laki-laki pertama.
“Felix, please,” laki-laki bernama Jisung itu tiba di depan meja kasir, tempat Minho berdiri.
“Selamat datang, ada yang bisa dibantu?” ucap Minho, seperti biasa.
“Menurutmu, mawar kuning pantes buat ibu?” tanyanya tanpa permisi.
Minho mengangguk, “Bukan cuma untuk teman, juga bisa untuk orang yang kamu hormati.”
“Apa aku bilang,” laki-laki yang mungkin bernama Felix menimpali.
“Kamu cuma bilang Mama suka mawar kuning,” Jisung menatap Minho. “Satu buket mawar kuning, sama mawar merah muda.”
“Merah muda?” Minho bersiap mengambil guntingnya.
Jisung mengangguk, “Aku suka merah muda.”
“Boleh aku saran bunga lain?” tawar Minho.
Jisung kini menggeleng.
Minho meringis pelan. Lucu rasanya Felix tidak diizinkan memilih warna bunga yang mungkin sosok Mama suka, tapi Jisung berhak memilih bunga yang ia suka. Minho mengangguk, memasukkan pesanan ke mesin kasir sebelum menyiapkan bunga-bunganya, berharap dua manusia ini tidak datang kembali ke tokonya.
Malam itu, Minho berencana tutup lebih cepat. Harinya melelahkan, ada pesanan yang kelewat banyak dan mendesak yang ia tidak bisa tolak. Dengan sisa tenaganya, Minho menarik kotak berisi perkakas ke gudang belakang, merapikan seadanya. Kakinya yang pegal kemudian membawanya ke bagian depan toko, seperti bergerak otomatis mengingatkannya untuk melipat papan bertuliskan nama toko dan menyimpannya di dekat meja kasir. Namun gerakannya terhenti saat ia menemukan gundukan dengan kertas cokelat dan pita merah di antara pot-pot bunga plastik.
Mawar putih. Beberapa kelopaknya tanggal dan tersebar di dekat pot bunga. Ragu, Minho berlutut, dalam diam secara refleks menghitung jumlah tangkai bunga yang dibungkus kertas. Bibirnya terasa kering. Ia mengangkat kepalanya, mencari entah sosok siapa di gelapnya jalan depan gerbang pemakaman. Matanya membulat demi melihat sosok laki-laki di dekat pohon dedalu. Rambut hitamnya, jaket tebal berwarna hitam, senyum yang asing. Minho berdiri, buket mawar putih di tangannya saat matanya bertemu dengan mata orang asing itu.
Tiga belas mawar putih. Pengagum rahasia.